Wednesday, May 09, 2007

Tradisi Kuno ‘Premanisme’ di Kampus

Dunia Kampus itu Keras Bung !!


Pendidikan merupakan salah satu ciri kehidupan modern yang intelektual. Dan setiap orang pasti sepakat untuk masalah pendidikan ini. Tapi bagaimana jika proses pendidikan yang terjadi justru tidak intelek, atau malahan sangat primitif. Mungkin proses pendidikan itulah yang saat ini masih dianut oleh institut pemerintahan dalam negeri atau IPDN. Walaupun namanya sudah diubah, rektornya pun sudah direvisi, tapi tetap saja nuansa kekerasan terjadi. Idenya berawal dari pendidikan, kekerasan untuk mendidik, atau yang lebih halusnya lagi adalah untuk kedisiplinan. Namun apakah memang harus memakan korban jiwa ? lebih mirisnya lagi terkesan kekerasan ini adalah hal yang lumrah, dan manusiawi bagi para pemimpin. Bahkan para civitas akademikanya justru menutupi kasus ini. Entah karena kerahasiaan almamater atau agar aib almamaternya tidak diumbar bebas. Motifnya sangat sederhana, yaitu hanya karena dendam, senioritas, penegakan hukum atau alasan lainnya yang simpel tapi mematikan. Kita ambil contoh dari beberapa praja IPDN yang merasakan kekerasan, ternyata punya keinginan untuk meneruskan hal tersebut pada juniornya sebagai pelampiasan. Mungkin tujuan awalnya memang untuk kedisiplinan, tapi karena kebablasan justru jadi kekerasan.

Itu gambaran dunia kampus IPDN yang akrab dipemberitaan akhir-akhir ini. Lalu bagaimana dengan dunia kampus lainya? Ternyata ada juga yang namanya kekerasan. Walaupun penjelmaannya berbeda-beda. Kampus-kampus terkenal seperti ITB, UNPAD, STT Telkom, UNPAR dan banyak lagi, mengalami fenomena ini. Motifnya beragam, bisa karena masalah angkatan, fakultas atau jurusan, kesukuan, sampai masalah pribadi. Istilah perang antar angakatan pernah mencuat di kampus ketika beberapa tahun lalu ospek masih membabi buta. Tawuran antar fakultas pun pernah terjadi, sampai menghancurkan gedung kuliah dan memakan korban mahasiswa, ini pernah menjadi berita heboh di Makasar. Masalah kesukuan bahkan menjadi masalah umum disetiap kampus, sehingga muncul perang antar suku, sunda, madura, jawa, batak, daya, padang, dan suku-suku lainnya yang tidak cukup jika disebutkan satu persatu. Masalah pribadi pun sering menjadi awal mula kekerasan di kampus, bisa karena rebutan pacar, karena senggolan dijalan, karena nilai kuliah, atau hal-hal sepele lainnya. Sepele karena sebenarnya masalah itu bisa diselesaikan, tapi menjadi tidak sepele jika sudah menyangkut harga diri. Tapi apa benar kekerasan bisa menyelesaikan masalah, karena yang sering terjadi justru menambah masalah.

Kita akan melihat contoh kasus berikut (hanya ilustrasi fiktif) :
Bonita tanpa sengaja merusak Komputer Steve. Walaupun Bonita sudah meminta maaf, namun Steve tetap saja marah dan kesal, sampai akhirnya Steve mencaci maki dan menampar Bonita dua kali. Bonita yang merasa ditindas dan menceritakan tindakan Steve itu kepada sahabatnya Shumi. Diluar dugaan, Shumi justru emosi dan mendatangi Steve untuk membalas perlakuannya terhadap Bonita. Tapi masalah tidak berhenti isampai disana, karena justru pertikaian sekarang terjadi antara Steve cs dengan Shumi cs. Pekelahian pun terjadi antar pihak, dan memakan korban luka-luka. Hal ini rebak menjadi tawuran antar jurusan, karena ternyata Steve dan Bonita berasal dari jurusan yang berbeda. Alhasil satu lab dan satu ruang kuliah mengalami kerusakan parah akibat aksi dua kubu yang bertikai. Padahal hanya masalah komputer rusak, kenapa gedung kuliah jadi ikutan rusak ?anak orang bonyok, tapi komputer tetep rusak.


Itu adalah gambaran kecil bagaimana kekerasan begitu mudah terjadi di kampus. Tindakan seperti ini bahkan sudah mengarah pada premanisme kampus, yang berawal dari kelompok-kelompok tertentu di kalangan mahasiswa. Karena itu, mereka merasa dengan begitu mereka bisa melakukan apa saja sesuka mereka. Bersama komunitas yang mereka miliki, mereka menjadi manusi yang bebas berbuat. Kalau untuk tujuan positif, kebebasan itu bisa saja bermafaat. Atau malah untuk hal-hal yang negatif, itu sama saja dengan premanisme. Tanpa komunikasi, tanpa solusi, tanpa intelektualitas. Di IPDN premanisme muncul karena masalah angkatan, senior dengan junior. Dikampus lain? Bisa jadi beragam tergantung motifnya tadi. Apapun alasannya kekerasan dan premanisme adalah dua hal yang bertolak belakang dengan dunia pendidikan, kecuali pendidikan preman. Seharusnya kita mulai sadar untuk mengutamakan intelektualitas kita dalam menyelesaikan masalah yang ada. Gunakan otak bukan otot, apalagi main keroyokan. Kalau masalahnya hanya komputer rusak, maka yang merusak harus mengganti dan yang dirusak harus lapang dada untuk memaafkan, kedua pihak harus bisa saling mengerti. Jangan egois hanya karena harga diri.

Kesadaran untuk merubah kondisi ini harus melibatkan seluruh civitas akademika kampus. Semua pihak harus berupaya menghilangkan kekerasan dan premanisme di kampus. Misalnya dengan keberadaan pihak institusi yang harus tegas menindak kekerasan di kampus, bukan malah menutup-nutupinya, termasuk para korban. Semua pihak(terutama pelaku) yang terlibat harus diberikan efek jera baik perorangan ataupun kelompok. Dengan hukuman yang membuat pelakunya jera, menjadi insan intelektualitas seutuhnya, bukan setengah mahasiswa setengah ’tukang pukul’ (mirip Hulk). Dosen dan tenaga pengajar, juga memiliki peran untuk mendidik dan menciptakan iklim kampus yang beradab. Upaya untuk menghilangkan kekerasan di kampus bisa kita contoh dari keberanian beberapa Praja dan Dosen IPDN yang mengungkap kasus kekerasan di kampusnya. Dengan begitu pendidikan yang dilakukan di kampus akan secara paripurna mendidik mahasiswanya. Tidak sekedar memberikan ilmu-ilmu yang bersifat teoritis dan terapan sesuai bidangnya, namun juga mampu menanamkan pendidikan tentang kehidupan sosial manusia yang beradab, bermoral dan bermartabat.
Bagaimana dengan kampus kita ?
Bagaimana dengan kita ?



OMG! it's a great article, Share Oh!


0 komentar:

 

Followers

Social Share

[ttm]. topan tambunan menulis Copyright © 2009 Gadget Blog is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal